Kamis, 01 April 2010

saya lg sedih

Di luar gerimis baru saja turun untuk kemudian menderas. Butiran air menjadi selarik tirai yang hanya sekilas saja terlihat, menghalangi berkas-berkas cahaya sampai di tempat ku. Ditambah lajunya mobil Innova hitam ini, semakin susah cahaya menerangi tempatku duduk di bangku kemudi ini.

Pada suatu detik yang begitu istimewa, aku menjadi saksi. Ketika air mataku turun, jatuh dari mataku. Begitu bening seperti embun yang bergoyang seirama dengan daun. Daun tempat embun bertengger di ujungnya untuk kemudian jatuh, luruh ke bumi. setelah menggumpal di sudut mataku yang terpejam, kemudian karena beratnya jatuh ke pangkuanku.

Seiring dengan jatuhnya butiran bening itu, bukan prisma pembias cahaya yang kuingat. Tidak indah, berwarna-warni seperti ketika sinar matahari menembusi embun dan terbiaskan menjadi warna-warni pelangi. Manakala mataku kian terpejam dan mengikhlaskan sebuah butiran bening pergi dariku tanpa ucapan selamat tinggal. Ketika itu pula sebagian diriku terampas. Ada kesedihan yang memaksa masuk, menjadi pengganggu kebersamaan, kebahagiaan yang kurasakan.

Kata Eistein, “Seandainya saja aku bisa membagi kebahagiaanku denganmu, agar kamu tidak termenung dan bersedih.” Namun, Eistein lupa, pengandaian justru lebih menyakitkan. Seperti mimpi yang mustahil tergapai.

Akhirnya, sebuah kemestian bila kita harus menikmati betapa pun sedihnya saat itu. Aku menangis dalam diam, air mataku berderai, sedikit pun tanpa isak yang terdengar. Tapi sesungguhnya lebih menyakitkan bila melihat air matamu jatuh satu demi satu seperti itu. Tidak… bukan seperti gerimis yang entah kenapa menurutku berisik saat jatuh di badan mobil ditingkahi bunyi wiper. Padahal, di lain saat yang berbeda, aku begitu menikmati bebunyian gerimis itu, entah ketika menabrak genteng, berbenturan dengan kaca jendela atau ketika bertumbukan dengan kerikil di halaman. Bunyi yang sama, tik-tak gerimis ternyata memberi efek yang berbeda bergantung pada suasana hati. Salahkah gerimis?

Dan aku, apa yang kulakukan selain duduk menyaksikan butir demi butir gerimis jatuh di luar. butir demi butir air mataku mungkin jatuh berserakan. Seperti patung polisi di perempatan yang tidak berdaya apa pun. Begitulah aku, tiada yang dapat kulakukan. Mungkin ketika itu, kamu memasuki duniamu yang tak terpermanai, bahkan olehku. Sebenarnya, memang aku tak selalu memahami dan mengerti kamu. Ah, maafkan aku.

Barangkali saat Aku terpejam itu, ketika butiran-butiran bening itu jatuh, manakala bibirku terkatup rapat tak membiarkan sekadar isak.

Detik-detik yang berjalan mengiringi air mataku yang berkelap-kelip saat cahaya menyapa. Hening yang ngelangut ketika diamku seperti batu gunung yang teguh tak tergoyahkan. Mungkin adalah penanda ketika rapuhku hancur menjadi serpihan yang terserak. Rapuh yang sama dengan sekumpulan air terjun yang jatuh menimpa batu cadaas, menjadi percikan untuk nantinya bersatu lagi, namun kapan?

Masa untuk terpejam, kemudian air bening menggumpal di sudut mata, lantas jatuh dan terpercik di kemejaku pada akhirnya juga akan selesai. Ketika kamu sadar bahwa sudah tak ada lagi kepingan yang tersisa yang masih mungkin merepih, retak dan terserak. Saat tak ada lagi yang tersisa, kembali kesadaran merampasku dari pengembaraanku di negeri antah berantah dan hanya Aku yang tahu rute menuju ke sana.

Di titik berangkat dan kembali, di sanalah aku kan menunggu. Penanda kedua titik itu adalah kesadaranmu yang kembali menguasaimu. Ketika aku sadar pada usapan-usapan lembut telapak tanganku.

Biarlah derai air mata itu tetap jatuh, sebenarnya aku tak sanggup menahannya, bila dengan itu Aku merepih menjadi serpihan untuk kemudian terkumpul lagi. Seperti percikan air terjun yang kemudian berkumpul menjadi anak sungai menuju samudera. Mungkin dunia tak akan pernah mengerti, bahkan tak juga aku akan apa yang aku rasakan. Abaikan saja mereka yang kembali bercakap-cakap dan tak juga hirau pada apa yang Aku rasakan. Sedangkan aku, berhara ada yang menemaniku, sekadar menyeka air mata yang menodai pauh pipiku.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites